Perlukah Pendidikan seks?







 PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang
    Dewasa ini dunia pendidikan diramaikan dengan isu-isu pentingnya memasukkan pendidikan seks pada kurikulum sekolah. Alasannya adalah agar pendidikan tersebut dapat membentengi para remaja putra dan putri dari perilaku seks bebas. Hal yang cukup ironis melihat hasil penelitian Iip Wijayanto yang menyimpulkan bahwa 97% mahasiswi di sebuah kota pendidikan tidak lagi perawan. Sekalipun  kita meragukan validitas atau tepatnya angka prosentase tersebut, tetapi hal ini cukup membuktikan bahwa seks telah disalahgunakan justru oleh orang berpendidikan.
    Perdebatan tentang pendidikan seks di sekolah seakan tak habis dibicarakan. Kelompok yang pro menganggap pendidikan seks itu perlu untuk mencegah prilaku seks menyimpang. Kalangan yang menentang pendidikan seks beralasan justru pendidikan seks akan membuat anak yang tidak tahu tentang seks akan menyalahgunakan apa yang diketahuinya.
  2. Rumusan Masalah
·         Apakah pendidikan seks itu ?
·         Pentingkah pendidikan seks ?
·         Bagaiman pola pembelajaran yang harus dilakukan?
·         Apakah pendidikan seks dapat menekan dampak pergaulan bebas?
  1. Tujuan
·         Menjelaskan pengertian pendidikan seks.
·         Menjelaskan tentang pentingnya pendidikan seks masuk ke dalam kuriulum pendidikan.
·         Menjelaskan pendidikan seks yang bagaiman ayang harus diterapkan.


Pembahasan


Pendidikan seks menurut tokoh pendidikan Nasional Arif rahman Hakim adalah perlakuan proses sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat. Dengan demkian pendidikan ini bukanlah pendidikan tentang how to do (bagaimana melakukan hubungan seks), atau tentang hubungan seks aman, tidak hamil dan lain sebagainya, tetapi intinya pendidikan seks di berikan sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama. Ia tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, jika tidak maka apa yang dikhawatirkan kelompok anti pendidikan seks akan terjadi. Ketika seks terlepas dari kerangka moral agama, maka kebobrokan moral kaum terpelajar justru akan semakin mewabah, sebagaimana yang di tenggarai Iip Wijayanto.
Menurut Dr. Boy Zaghul Zaini (Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota Bandarlampung), “Pendidikan seks atau pendidikan organ reproduksi sangat penting karena dapat menjadi perisai bagi remaja di tengah maraknya informasi yang salah tentang seks dan organ tersebut dari berbagai media.”
Beliau menjelaskan, usia remaja yang penuh gejolak dan selalu ingin tau menimbulkan ketidaksiapan penerimaan mereka terhadap segala masukan tentang organ reproduksi, sedangkan peran orang tua agak terkesampingkan dalam memberikan informasi yang benar dalam hal tersebut. “Budaya timur masih menganggap membicarakan hal tersebut tabu dibicarakan antara orang tua dan anak,” kata beliau.
Pola pembelajaran yang dilakukan, kata Dr. Boy, dapat dilakukan dengan cara bimbingan dan tutorial dua arah, serta harus dilakukan oleh orang yang faham tentang organ reproduksi skaligus psikologis remaja.
Upaya pertama yang dilakukan adalah menambah jumlah pembimbing yang paham tentang hal tersebut di sekolah-sekolah, melalui pelatihan terpadu oleh tenaga ahli.
Menurut Dr. Boy, menjadikan pendidikan seks dan organ reproduksi pada remaja sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dapat menjadi langkah ampuh dalam menekan prilaku seks bebas di kalangan remaja.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur berencana memasukkan pendidikan seks sejak dini dalam kurikulum. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah pelajar yang terlibat hubungan seks bebas.
"Pendidikan seks usia dini perlu dimasukkan dalam kurikulum belajar sekolah, agar bisa menekan dampak pergaulan bebas para pelajar," kata Kepala Dinas Pendidikan Pemprov Jatim Harun saat berkunjung ke SMPN 5 Malang kepada detiksurabaya.com, Kamis (14/10/2010).
Pendidikan seks sudah saatnya menjadi bagian kurikulum pendidikan formal bagi remaja, untuk meminimalkan pengaruh budaya seks bebas dan mencegah penyebaran virus HIV.
Kasus KTD (kehamilan tak diinginkan) yang terjadi sampai 30% pada remaja, 70% pada PUS (Pasangan Usia Subur) yang mengalami kegagalan kontrasepsi. Masalah pergaulan bebas yang menjerumus ke arah seks perlu diantisipasi dunia pendidikan. Dengan perkembangan dunia informasi yang semakin pesat, semua sepakat bahwa pendidikan seks perlu di sekolah. Hanya saja seperti apa pendidikan itu disampaikan kepada siswa di sekolah yang harus lebih diperhatikan oleh pendidik (guru).
Dalam perspektif pendidikan agama (dalam hal ini; Islam), pendidikan seks dibahas dalam materi pelajaran fikih yang meliputi tentang reproduksi dan tanggung jawab agama bagi seseorang yang telah mengalami kematangan reproduksi seksualnya (baligh). Dengan mengacu fikih, maka penulis mengusulkan agar ruang lingkup kurikulum pendidikan seks antara lain: Penciptaan manusia oleh Tuhan (proses kejadian manusia mulai dari pembuahan), perkembangan laki- laki dan perempuan (secara fisik dan psikis), perilaku kekelaminan, dan kesehatan seksual.
Di samping kurikulum, hal yang juga harus dipersiapkan adalah guru pengajarnya. Jangan sampai pendidikan seks yang bertujuan sebagai tindakan preventif malah menjadi ajang pembahasan seks secara vulgar dan di luar konteks kependidikan. Oleh karenanya guru yang ditugaskan untuk menyampaikan pendidikan seks ini harus benar-benar faham akan maksud dan tujuan diadakannya pendidikan seks  di sekolah.
Sedangkan informasi yang dapat diberikan mencakup tentang masalah reproduksi, KB, perilaku seks menyimpang, kejahatan seks, dan perlindungan hukum. Ada dua alternatif  kurikulum pendidikan seks di sekolah: berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran atau terkait dengan mata pelajaran lain. Pendidikan seks diintegrasikan dalam mata pelajaran: agama, olahraga, biologi, sosiologi, dan antropologi.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pangkalpinang, Irianto Tahor, menyatakan pendidikan seks harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah untuk menghindari efek negatif seks di luar nikah.
"Pendidikan seks perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah guna menghindari terjadinya seks bebas yang menimbulkan berbagai penyakit dan juga praktik aborsi di kalangan remaja," kata Irianto.
Irianto menjelaskan, meski pendidikan seks disertakan dalam kurikulum sekolah, muatan pendidikan seks harus dibatasi.
"Artinya tidak semua jenjang pendidikan diberi materi pendidikan seks, misalnya pada tingkat TK dan SD tidak perlu diberi, selain itu, muatannya pun harus dikemas sedemikian rupa sehingga pnedidikan akan berorientasi pada kesehatan reproduksi," kata dia. Hal tersebut dinyatakan Irianto terkait dengan pemberitaan Menteri Kesehatan yang beberapa waktu lalu membagi-bagikan kondom sebagai kampanye mengenai program kesehatan reproduksi.
"Saya pikir hal tersebut tidak efektif dan malah akan menimbulkan kesan yang salah, cara yang efektif untuk mengenalkan kesehatan organ reproduksi adalah dengan memberikan pendidikan seks," kata dia.
Selain diberi pengertian dari segi kesehatan dengan menerjunkan para ahli, Irianto berpendapat pemberian pengertian dari sisi agama dirasa perlu.
Lebih lanjut Irianto menambahkan, dengan diberikannya pendidikan seks di jenjang sekolah, maka akan membantu program keluarga berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah.
"Semakin banyak orang paham tentang kesehatan reproduksi, maka akan semakin banyak orang yang akan merencanakan bagaimana mereka nantinya akan berkeluarga, dan itu bagus untuk program KB kita," kata dia.
Pelaksanaan program KB di Indonesia telah mendapat pengakuan dari dunia internasional.
Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief mengatakan dunia internasional mengakui keberhasilan KB Indonesia terkait pengendalian laju pertumbuhan penduduk.
Keberhasilan KB, kata Sugiri, membuat Indonesia diundang secara khusus pada acara Family Planning Summit di London minggu ini.
Penyakit HIV/AIDS meski belum bisa disembuhkan namun bisa dicegah. Sayangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit ini masih rendah sehingga masih banyak yang percaya pada berbagai mitos yang salah.
Dalam hasil riset Sexual Wellbeing Global Survei yang dilansir Durex di Jakarta (30/11) terungkap 82 persen orang Indonesia membutuhkan informasi yang benar mengenai penyakit HIV/AIDS. Survei dilakukan secara global dengan melibatkan 1.015 orang di Indonesia.
Pengetahuan akan reproduksi dan pendidikan seks yang sehat menurut dr.Boyke Dian Nugraha, Sp.OG, seharusnya dimasukkan dalam kurikulum sekolah "Mungkin bisa dimulai dengan ekstra kurikuler pendidikan seks dulu, baru perlahan masuk jadi kurikulum resmi," ungkapnya dalam jumpa pers di Jakarta.
Ia menjelaskan pendidikan seks yang wajib dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan adalah pengetahuan seputar sistem reproduksi, bahaya seks bebas, serta resiko penularan penyakit-penyakit kelamin termasuk herpes, maupun informasi mengenai HIV/AIDS.
"Tidak perlu takut memasukkan pendidikan seks ke dalam kurikulum, karena belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa pendidikan seks menyebabkan angka seks bebas meningkat. Justru penelitian di Kyoto, menyatakan sebaliknya karena generasi muda lebih mengetahui resiko-resikonya, bukannya malah merangsang," jelasnya.
Selain dari pemerintah, dia juga menyarankan agar para orang tua tidak menganggap tabu pembicaraan seks dengan anak. "Sejak usia 10 tahun, atau menjelang anak memasuki masa menstruasi dan mimpi basah, anak sudah harus diberi informasi yang memadai mengenai pendidikan seks," katanya
Selain orang tua dan pemerintah, informasi seputar pendidikan seks dan HIV/AIDS juga diharapkan datang dari media massa, terutama televisi karena banyak masyarakat di pedalaman sulit mengakses informasi dari media cetak atau internet.
"Kita bisa mencoba memasukkan informasi tentang pendidikan seks dan HIV/AIDS ini ke dalam sinetron, film, atau musik misalnya, yang lebih mudah dicerna. Jangan cuma ribut memberitakan soal demo-demo hari anti AIDS sedunia, lalu selesai sampai disitu," tutupnya.
Untuk mendukung kurikulum pendidikan seks di sekolah maka kegiatan ekstrakurikuler sekolah juga perlu mendukungnya. Pendidikan seks dalam kegiatan OSIS dapat dicakup dalam program Keputrian, Keputraan, Pesantren Kilat, dsb.  Juga kegiatan dalam bentuk seminar dan diskusi yang mengundang orangtua murid dan para ahli, bila perlu seksolog dan agamawan.
Namun demikian tenggung jawab keberhasilan pendidikan seks bukanlah semata-mata di tentukan oleh kurikulum sekolah, tetapi juga peran keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah mempunyai keterbatasan waktu dan pengawasan. Maka bimbingan keluarga dan kontrol dari masyarakat, dimana anak lebih banyak menghabiskan waktunya, mempunyai peranan lebih besar bagi terciptanya generasi yang berilmu sekaligus bermoral. Insya Allah.





0 Comments