Koagulasi

2.2.1        Koagulasi
Koagulasi merupakan proses penggumpalan partikel koloid dikarenakan penambahan bahan kimia sehingga partikel-parkikel tersebut bersifat netral dan membentuk endapan  dengan gaya gravitasi. Menurut  Ebeling  dan  Ogden  (2004),  koagulasi merupakan proses menurunkan atau menetralkan muatan listrik pada partikel-partikel  tersuspensi.  Muatan-muatan  listrik  yang  sama  pada  partikel-partikel  kecil  dalam  air  menyebabkan  partikel-partikel  tersebut  saling  menolak  sehingga  membuat  partikel-partikel  koloid  kecil  terpisah  satu  sama  lain  dan menjaganya  tetap  berada  dalam  suspensi.  Proses  koagulasi  berfungsi  untuk menetralkan  atau  mengurangi  muatan  negatif  pada  partikel  sehingga  mengijinkan  gaya  tarik  Van  Der  Waals  untuk  mendorong  terjadinya  agregasi  koloid  dan  zat-zat  tersuspensi halus untuk membentuk  microfloc. Untuk menjamin proses koagulasi yang efisien pada dosis bahan kimia yang minimal maka koagulant harus dicampur secara cepat dengan air, dengan pengaduk yang cepat zat pengendap akan terbagi rata didalam air sebelum pengendapan selesai.
Faktor – faktor yang mempengaruhi koagulasi :
1a.  Pemilihan bahan kimia
Untuk melaksanakan pemilihan bahan kimia, perlu pemeriksaan terhadap karakteristik air baku yang akan diolah, yaitu :
a.       Suhu, dimana suhu yang rendah memeberikan efek yang merugikan terhadap efisiensi semua proses pengolahan. Semakin rendah temperatur, maka membutuhkan waktu kontak yang lebih lama karena mempengaruhi pembentukan flok-flok agar cepat mengendap di bak pengendap.
b.      pH , pada kondisi ekstrim baik tinggi maupun rendah, pH dapat berpengaruh terhadap koagulasi karena sifat kimia koagulan yang tergantung pada pH. pH optimum bervariasi tergantung jenis koagulan yang digunakan, namun umumnya  pH maksimal adalah 7,5.
c.       Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan menghasilkan koagulasi yang kurang baik, pada kasus demikian mungkin memerlukan penambahan alkalinitas ke dalam air, melalui penambahan bahan kimia alkali/basa (kapur atau soda abu).
d.      Kekeruhan, dimana semakin rendah kekeruhan maka semakin sukar pembentukkan flok. Semakin sedikit partikel, semakin jarang terjadi tumbukan antar partikel/flok, oleh karena itu makin sedikit kesempatan flok berakumulasi.
e.       Warna, dimana berindikasi kepada senyawa organik, dimana zat organik bereaksi dengan koagulan menyebabkan proses koagulasi terganggu selama zat organik tersebut berada di dalam air baku dan proses koagulasi semakin sukar tercapai.
2b. Penentuan dosis optimum koagulan
Untuk memperoleh koagulasi yang baik, dosis optimum koagulan harus ditentukan. Dosis optimum mungkin bervariasi sesuai dengan karakteristik dan seluruh komposisi kimiawi di dalam air baku, tetapi biasanya dalam hal ini fluktuasi tidak besar, hanya pada saat-saat tertentu dimana terjadi perubahan kekeruhan yang drastis (waktu musim hujan/banjir) perlu penentuan dosis optimum berulang-ulang.

2.2.11.  Koagulan
Koagulan  adalah  bahan  kimia  yang  ditambahkan  untuk mendestabilisasi partikel koloid dalam air limbah agar flok dapat terbentuk. Senyawa  koagulan  adalah  senyawa  yang  mempunyai  kemampuan mendestabilisasi  koloid  dengan  cara  menetralkan  muatan  listrik  pada  permukaan koloid  sehingga  koloid  dapat  bergabung  satu  sama  lain  membentuk  flok  dengan ukuran yang lebih besar sehingga mudah mengendap.
Waktu penambahan bahan-bahan kimiawi pengkondisi dan koagulan terbukti sangat penting  dan  biasanya  sangat  menentukan  keefektifan  performa  unit  sedimentasi, filtrasi dan kualitas air akhir. Koagulan berbasis besi cenderung  lebih mahal pada basis  dosis ekivalen per kilogramnya. Koagulan-koagulan ini juga mengambil lebih banyak  alkalinitas  sehingga  cenderung  menurunkan  pH  air  yang  diolah  lebih besar. Sebagian berpendapat bahwa koagulan berbasis besi menghasilkan flok dengan bentuk yang membuatnya lebih sulit untuk mengendap. Koagulan ini sangat korosif  dan  ketika  terjadi  tumpahan  atau  kebocoran  akan  meninggalkan  noda  karat yang berwarna merah darah (Gebbie 2005). Dibawah ini merupakan jenis-jenis koagulan yang sering digunakan.

2.2.1 PAC (Poly Aluminium Chloride)
PAC  adalah  polimer alumunium yang  merupakan  jenis koagulan  baru 
sebagai  hasil  riset  dan pengembangan  teknologi  pengolahan air.  Sebagai  unsur  dasarnya  adalah alumunium  dan  alumunium  ini berhubungan  dengan  unsur  lain membentuk  unit  yang  berulang  dalam suatu ikatan rantai molekul yang cukup panjang.  Dengan  demikian  PAC  menggabungkan  netralisasi  dan kemampuan  menjembatani  partikel–partikel  koloid  sehingga  koagulasi berlangsung lebih efisien. PAC memiliki  rumus  kimia  umum  AlnCl(3n-m)(OH)m, dimana yang  paling  umum  dalam  pengolahan  air  adalah  Al12Cl12(OH)24.
PAC  memiliki  rantai  polimer  yang panjang,  muatan  listrik  positif  yang tinggi dan memiliki berat molekul yang besar,  PAC  memiliki  koefisien  yang tinggi sehingga dapat memperkecil flok dalam  air  yang  dijernihkan  meski dalam  dosis  yang  berlebihan.  PAC lebih  cepat  membentuk  flok  daripada koagulan  biasa,  hal ini dikarenakan PAC  memiliki muatan  listrik  positif  yang  tinggi sehingga  PAC  dapat  dengan  mudah menetralkan  muatan  listrik  pada permukaan koloid dan dapat mengatasi serta  mengurangi  gaya  tolak  menolak elektrostatis  antar  partikel  sampai sekecil  mungkin yang memungkinkan  partikel  –  partikel koloid tersebut saling mendekat (gaya tarik  menarik  kovalen)  dan membentuk  gumpalan  /  massa  yang lebih  besar (Malhotra, 1994).
Pada penggunaanya, PAC tidak keruh bila diguanakan berlebih,  sedangkan koagulan  utama   (seperti  alumunium sulfat,  besi  klorida  dan  ferro  sulfat) bila dosis  berlebihan  akan membuat air keruh, akibat dari flok yang berlebihan.  Maka  pengunaan  PAC  dibidang penjernihan air lebih praktis, dimana PAC lebih  cepat  membentuk  flok  daripada koagulan biasa.
Sifat – sifat PAC :
a.       Titik beku = -18˚C
b.      Boiling point = 178˚C
c.       Rumus empiris = (Al2( OH )6-n )m dengan 1<n<5 dan m<10
d.      Spesific grafity = 1,19 (20˚C)  (Oktania, 2005).
Aplikasi  PAC  pada  dasarnya  dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a.       Pada pemrosesan air permukaan untuk  keperluan  air  bersih,  air  minum dan air untuk proses industri (PDAM, industri kertas, industri textile, industri baja, industri kayu, dll).
b.      Pada  pemrosesan  limbah  cair industri, antara  lain :  industri pulp dan kertas,  Industri  textile,  industri  gula, industri makanan, dan lain – lain.

2.2.1 Batu Kapur (CaCO3)
Batu kapur (gamping) dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, secara mekanik, atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari pengendapan cangkang/rumah kerang dan siput, foraminifera atau ganggang, atau berasal dari kerangka binatang koral/kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu muda, abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya.
Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah aragonit yang merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit. Mineral lainnya yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur atau dolomit, tetapi dalam jumlah kecil adalah Siderit (FeCO3), ankarerit (Ca2MgFe(CO3)4), dan magnesit (MgCO3).
Batu kapur berfungsi untuk pengendapan (berperan sebagai koagulan) dan jua berfungsi untuk menaikkan pH air, tetapi tidak berfungsi untuk membunuh kuman, virus dan bakteri.

2.2.1 Alumminium Sulfat (Al2(SO4)3)
Alum merupakan salah satu koagulan yang paling lama dikenal dan paling luas digunakan. 
Alum padat akan langsung larut di dalam air, tetapi larutannya bersifat korosif terhadap aluminium, besi dan beton sehingga tangki-tangki dari bahan tersebut membutuhkan lapisan pelindung. Alum juga membentuk koloidal Al(OH)3 yang dapat mengadsorpsi zat-zat warna atau zat-zat pencemar seperti detergen dan pestisida. Ketika ditambahkan ke dalam air, alum bereaksi dengan air menghasilkan ion-ion bermuatan positif. Ion-ion bermuatan +4 tetapi secara tipikal bermuatan +2 (bivalen). Ion-ion bivalen 30-60 kali lebih efektif dalam menetralkan muatan-muatan partikel dibanding ion-ion yang bermuatan +1 (monovalen) (Rosiariawari, 2010).
            Aluminium sulfat memerlukan alkalinitas (seperti kalsium bikarbonat) dalam air agar terbentuk flok:
Al2(SO4)3.18 H2O + 3Ca(HCO3)2    ----->           2Al(OH)3 + CaSO4 + 18H2O + 6CO2
CaSO4 + Na2CO3                             ----->           CaCO3 + Na2SO4
Bila alkalinitas alamnya kurang, perlu dilakukan penambahan Ca(OH)2

Al2(SO4)3.18H2O + 3Ca(OH)2          ----->            2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 18H2O

0 Comments